KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga makalah
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini mempunyai tujuan untuk
menambah pengetahuan mahasiswa dan masyarakat tentang Bedah Mayat .
Dalam kesempatan ini saya ucapkan
terima kasih kepada H.Suhaimi S.Ag, yang telah memberikan kesempatan untuk
membuka kembali wawasan tentang ilmu agama
dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman – teman yang telah
mendukung menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah atas kekurangannya
dalam tugas ini. Saya mohon maaf dan saya juga dengan terbuka menerima setiap
kritik dan saran yang membangun dari berbagi pihak supaya isi dalam makalah
semakin bermutu. Dan semoga makalah bermanfaat bagi pembaca khususnya pada mata
kuliah agama.
Palembang, Januari 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………...…..….. ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………...….........….. iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………..............…..... 1
1.1 Latar Belakang
....…………………………………......…....... 1
1.2 Tujuan
....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
………………………………….......................... 2
2.1 Pengertian
Bedah Mayat............................................................ 2
2.2 Pembagian
Bedah Mayat .......................................................... 2
2.3
Hukum Bedah
Mayat ................................................................ 9
2.4
Pandangan Ulamat tentang Bedah Mayat (Autopsi)
................ 12
BAB III PENUTUP
………………………………………….....………....... 17
3.1 Kesimpulan
………………………...…………………......… 17
3.2 Saran
………………………………………...………….......... 18
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sering
terjadi dengan yang namanya otopsi atau bedah mayat. Biasanya mayat yang mati
karena kasus atau pembunuhan atau juga kecelakaan yang sering terjadi. Hukumnya
dalam islam masih di perdebatkan para ulama. Sebenarnya apa sih tujuannya. Dan
kalau memang untuk kepentingan negara terus bagai mana dengan mayatnya. Padahal
namanya orang mati itu sakitnya luar biasa. Apalagi sampai di otopsi atau di
bedah bedah.
Pada
makalah akan sedikit menjelaskan tentang bagaimana hukumnya membedah
(mengotopsi) seseorang yang telah meninggal dunia. Karena manusia harus
dihargai walaupun sudah meninggal sekalipun. Karena biasanya sesudah terjadi
suatu peristiwa baru dipikirkan pemecahannya dan menetapkan hukumnya.
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang
diatas, diharapkan
mahasiswa mengetahui dan mengerti tentang apa itu bedah mayat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Bedah Mayat
Secara
etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong bagian tubuh
seseorang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Jirahah yang berarti
melukai, mengiris, atau operasi pembedahan.
Sedangkan
secara terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh
mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah
dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian
seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu
tindak kriminal.
2.2 Pembagian
Bedah Mayat
Ditinjau
dari aspek dan tujuannya bedah mayat dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Bedah Mayat Pendidikan
Ialah
pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa
kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang
ilmu viral tubuh manusia (anatomi).
2
Praktek
yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui seluk-beluk organ
tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan terserang
penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk
mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal saat ini,
dengan membedah jasad manusia.
Dari
hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan secara
Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek
seperti ini hampir dilakukan di semua Fakultas Kedokteran.
Otopsi
jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran, Islam sebagai agama yang telah
disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab
permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara kaidah
tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang
paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka
dilakukan yang paling ringan mufsadatnya.”[1]
Tema
penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru yang jawabannya
tidak dipandu langsung oleh Al-Qur’an dan hadits (nash). Padanan eksplisit
dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode Qiyas
(analogi). Kasus demikian, dalam kajian Fiqih, dicari solusinya dengan metode
tarkhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad
karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.
3
b. Bedah Mayat Keilmuan
Ialah
pembedahan yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit, setelah
mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Bedah
mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum atau
secara mendalam.
Sifat
perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih
dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat
yang tidak diketahui secara sempurna selama dia sakit.
Dengan
melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang menyebabkan
kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan di
khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi
kemashlahatan.
c. Bedah Mayat Kehakiman
Yaitu
bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang
terjadi, seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.
|
Jika
sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai
penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti
pelakunya dan jika bukan karena kematian secara alamiah maka bedah mayat ini
merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan
pelakunya orang-orang tertentu.
Seorang
hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan
bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara
atau media untuk menemukan bukti.
Kemungkinan
terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
1. Untuk mengeluarkan janin
Bila
seorang ibu meninggal dunia, dalam keadaan hamil, dan bayi yang dikandungnya
masih dalam keadaan hidup. Dalam hal ini para ulama berselisih dalam menentukan
hukumnya, apakah harus dibedah perut ibu atau tidak?
a. Menurut Imam Malik dan Ahmad
Mengatakan
tidak boleh dibedah perut seorang ibu meskipun bayi yang dalam kandungannya
masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan Farji oleh tenaga
medis.
b. Sedangkan Menurut Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan
sebagian ulama Malikyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah
perut ibu demi keselamatan bayi dalam kandungannya.
5
c. Menurut Ulama Syafi’i
Bahwa
jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan didalam perutnya ditemukan janin
yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah dalam keadaan darurat, maka
pembedahan ini boleh dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup atau
berumur 6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak ada harapan untuk hidup,
maka pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini didasarkan sabda Nabi yang
berbunyi :
Artinya
: “Sesuatu yang diperbolehkan karena, hanya boleh dilakukan sekedarnya
saja.”
d. Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh
dibedah
Hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa memecah tulang
mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia yang hidup. (H.R. Abu Daud
dari Aisyah binti Abu Bakar). Seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni
memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan sebagai penghormatan bagi
mayat.
e. Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab
Syafi’i
Bahwa
jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah janin yang
masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi membela kehormatan yang masih
hidup.
6
Senada
dengan pendapat ini menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam Mesir)
mengatakan bahwa “bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan tertentu,
seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga pembunuh sesungguhnya dapat
diketahui.”
2. Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut
mayat.
Dalam
kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan umumnya Mazhab
Syafi’i, disebutkan bahwa “apabila seseorang pada masa hidupnya sempat menelan
uang logam (koin), maka ketika ia meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan
uang logam tersebut.” Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut lebih kurang
bernilai ¼ dinar, atau 3 dirham (satu dinar = 4,5 gram emas, jadi ¼ dinar
=1,125 gram emas).
Nuruddin
Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa “jika sekedar mengeluarkan uang
logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab
kematiannya dan kepentingan ilmu kesehatan lebih diutamakan lagi, karena
kepentingannya jauh lebih besar dari pada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan
uang logam yang tertelan itu.”
|
3. Menegakkan kepentingan umum
Peralatan
modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang
dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup
menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,
karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah :
Tidak
haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat.
4. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan
keilmuan
Diantara
ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia
yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran
tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut
teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi
seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
|
Pembedahan
mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena mayat hendaknya
segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan.
Sebagaimana
sabda Rasulullah yang berbunyi :
Artinya
: Percepatlah mengantar jenazah ke kuburnya. Bila dia seorang yang
shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan dia kebalikannya,
maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu. (HR. Bukhari).
2.3 Hukum
Bedah Mayat
Dalam
Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti tentang bedah mayat
akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan isyarat
mengenai landasan praktek bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan
memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang ada
didalam diri manusia itu sendiri. Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat Ayat
53 yang berbunyi :
Artinya
: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami
disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu?”
9
Pengertian
dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam tubuh manusia ada
nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
Dan
dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang berbunyi :
Artinya
: “Setiap yang bernyawa itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya
kepada Kami.”
Dalam
ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa
akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan
kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa
manusia adalah makhluk mulia. Yakni dalam Surat Al-Isra’ Ayat 70 yang berbunyi
:
Artinya
:
“Dan
sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan
di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
|
Seperti
: orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang penyakitnya agar bisa
diobati.
Hukum
bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits
Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada
obatnya. (H.R. Abu Daud dari Abu Darda).
Hadits
ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah
mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.
Sedangkan
bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan hukum
secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat
An-Nisa Ayat 58 yang berbunyi :
Artinya
: “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-baiknya yang memberi
pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Jadi
pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat
dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di
pengadilan.
11
2.4 Pandangan
Ulama Tentang Bedah Mayat (AUTOPSI)
Secara
garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :
1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi
hukumnya haram
Alasannya
hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya
mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dengan mematahkannya pada waktu
hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya
mubah (boleh)
Alasannya,
tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip yang
ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab
Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah
tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk
satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Rasulullah
SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit
(tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis
penyakit dan cara pengobatannya.
|
Dalam
literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat.Pertama, pandangan
mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu
boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad
Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan;
mengambil harta orang, misalnya pertama, yang tersimpan di perut jenazah, dan
menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian,
katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan
keduanya merupakan hasil rakhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan
tentang hukum bedah mayat pada dua kasus; mengambil harta dalam perut jenazah,
ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almahumah tidak
meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus
didahulukan di atas hak Allah.
Dalam
mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan secara
mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal
tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan
Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali melarang.
|
Pendapat
yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadits itu secara
mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah
darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.
Syekh
Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah,
berkomentar terhadap hadits tadi. Menurutnya, hadits itu berlaku bila tidak ada
kemashlahatan lebih krusial (mashlahah rajihah). Bila ada kemashlahatan lebih
krusial yang wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan
dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.
Komisi
Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul :
Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah
haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang
yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan
jenazah dikuburkan.
Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian
dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu
bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan mashlahat lebih besar;
memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.
14
Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah
muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan
janazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk
penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan
sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Keempat, negara diminta membuat regulasi yang
mengatur ketentuan dan mekanismenya.
Kaidah
dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas’udi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yang
menyatakan terlarang.
Organ
tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa.
Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal,
karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatakan
jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.
Izin
penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau izin
keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin
diberikan oleh pemerintah.
|
“Saat
seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap Tuhan,
sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan
yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala,” ujarnya.
Menurut
Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr. Agus
Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa
mengenai bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan
Syara’ Kementerian Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya
mubah (tidak diharamkan dan tidak dihalalkan).
Dalam
Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk kepentingan
pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan
Tubuh Manusia (ATK).
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sesuai
dengan pembahasan yang sudah dikemukakan pada makalah ini, maka perihal status
hukum bedah mayat ditinjau menurut hukum Islam melalui pendekatan teori-teori
pada kaidah fiqhiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bedah mayat adalah suatu tindakan
dokter ahli untuk membedah mayat karena dilandasi oleh suatu maksud atau
kepentingan-kepentingan tertentu seperti: kepentingan penegakkan hukum;
menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan
benda yang berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran.
Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan dalam
ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan bedah itu menempati
level hajat atau darurat.
2. Hadits
yang melarang memecahkan tulang mayat atau dengan kata lain merusak mayat dalam
pemaknaan penulis adalah apabila bedah mayat atau autopsi yang dilakukan
seseorang tersebut dilakukan tanpa tujuan yang benar, maka hukumnya haram.
Termasuk pula bila pembedahan mayat itu melampaui batas dari hajat yang
dibutuhkan .
17
3.2 Saran
Diharapkan agar mahasiswa/i
dapat memahami tentang Bedah Mayat. Karena pengetahuan ini sangat berguna
didalam mempelajari tentang Bedah Mayat menurut pandangan islam.
18
DAFTAR PUSTAKA
Hasan,
Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Al-Suyuthi,
Imam. 2005. Al-Asybah wa al-Nazhair fi
Qawaid wa Furu fiqh
al-Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiyah
al-Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiyah
Kamal,
Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum
Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Mahjuddin.
2005. Masailul Fiqhiyah :Berbagai Kasus
yang dihadapi “Hukum
Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia
Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia
Hubais,
Umar, 1993. Fatwa, Menjawab
Masalah-masalah Keagamaan Masa
Kini, cet 7, Jakarta: PT. Al-Irsyad
Kini, cet 7, Jakarta: PT. Al-Irsyad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar